Sabtu, 03 Agustus 2013

Peta Zona Nilai Tanah


Peta Zona Nilai Tanah dibuat menggunakan alat bantu Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat
mengolah dan merubah data titik koordinat nilai tanah menjadi klasifikasi harga
tanah dalam bentuk zona untuk membedakan nilai tanah. Sistem Informasi
Geografis memberikan gambaran yang lengkap dan konprehensif terhadap masalah
yang nyata terkait spasial permukaan bumi, semua entitas yang dilibatkan dapat
divusialisasikan untuk memberikan informasi baik yang tersirat (implisit)
maupun yang tersurat (eksplisit) , Definisi Sistem Informasi Geografis
menurut Rice, 2000 adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan,
menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan
menampilkan data yang berhubungan dengan posisi-posisi dipermukaan bumi.


Peta Zona Nilai Tanah adalah Peta Tematik



Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut diatas, Badan Pertanahan Nasional  mengembangkan Peta Zone Nilai Tanah. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagai menyelenggarakan kebijakan dan pengelolaan pertanahan secara nasional, regional dan sektoral, termasuk di dalamnya dalam hal pelaksanaan survei dan pemetaan potensi tanah. Persoalan riil di lapangan yang harus dihadapi adalah masih terdapat berbagai masalah dalam penyelenggaraan administrasi negara yang berkenaan dengan nilai dan penilaian aset, baik aset privat maupun publik, yaitu belum adanya sistem penilaian tanah dan atau properti yang mencerminkan nilai atau harga pasar nyata, sehingga menciptakan pasar tanah dan properti yang sehat dan transparan dan mencerminkan keadilan dalam memperoleh “penilaian” atas kepemilikan tanah secara obyektif dan transparan, baik untuk transaksi-transaksi pertanahan (jual beli, agunan, asuransi, sewa-kontrak,dan sebagainya), pembayaran pajak, maupun dalam perolehan kompensasi atau ganti kerugian akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum

Metode penilaian tanah yang digunakan oleh Badan Pertanahan Nasional untuk pembuatan Peta Zona Nilai Tanah adalah metode penilaian tanah secara massal untuk tanah yang belum terbangun atau tanah yang dapat dipertimbangkan sebagai tanah kosong dengan menggunakan prosedur perbandingan penjualan (sales comparison). Metode ini adalah cara penentuan nilai tanah dilakukan dengan membandingkan antara objek yang akan dinilai dengan objek lain yang sejenis di sekitarnya yang telah diketahui nilai jualnya dengan memberikan penyesuaian atas perbedaan kondisi yang diperbandingkan yang dipandang perlu, besarnya nilai yang diberikan untuk penyesuaian dalam disiplin ilmu penilaian dikenal sebagai nilai adjustment.

Peta Zona Nilai Tanah adalah Peta Tematik yang menggambarkan besaran-besaran nilai tanah atau harga pasar dan potensi tanah di suatu wilayah tertentu yang berfungsi sebagai informasi spasial, peta Zona Nilai Tanah didapatkan dari  pengolahan hasil survei pengambilan data harga transaksi dari bidang-bidang tanah berupa lokasi titik-titik koordinat  dari pengamatan menggunakan perangkat Global Positioning System.

Model penilaian tanah dengan penggunakan Peta Zona Nilai Tanah merupakan sesuatu yang baru dikembangkan  oleh Badan Pertanahan Nasional mulai tahun 2009, dengan pilot proyek di Kota Pontianak[11], selanjutnya dijadikan kegiatan proyek untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Kegiatan Survei penilaian tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam proses pengkajiannya bekerjasama dengan Pemerintah Negara Swedia, ini ditandai dengan proyek kerjasama IPSLA(Institusional Partnership for Strengthening Land Administration), salah satu hasilnya adalah aplikasi INLA ( Indonesian Land Assessment) yang uji cobanya  di Kecamatan Condong Catur, Yogyakarta

Relationship between urban land price and housing price



H. Wen dan A. C. Goodman dalam jurnal Habitat InternasionalRelationship between urban land price and housing price : Evidence from 21provincial capitals in China,” Kontroversi tentang pertumbuhan real estate China telah menjadi isu di kalangan ahli ekonomi domestik dan internasional, perubahan besar besaran regulasi perumahan di tahun 1998 menyebabkan transformasi komersialisasi harga perumahan, lonjakan pinjaman hipotek dan meningkatnya harga perumahan. Penelitian ini berusaha memahami keterkaitan antara harga tanah perkotaan dengan harga perumahan, dengan menggunakan metode Vector Auto Regression (VAR) untuk menganalisis hubungan lahan perkotaan dan harga perumahan dengan data rentet waktu, kelebihan penelitian ini dibandingkan metode empiris yaitu  pertama, Variabel yang  digunakan tidak hanya perumahan dan harga tanah, tetapi juga berbagai faktor yang mencerminkan fundamental ekonomi. kedua data penelitian diperluas dari seri waktu ke panel, dan ruang lingkup spasial yang lebih spesifik, dari tingkat nasional hingga tingkat kota.dan ketiga model persamaan simultan mengidentifikasi pengaruh timbal balik kuantitatif antara harga perumahan dan harga tanah. Penelitian ini menggunakan data panel dari 21 kota besar ( 8 kota pesisir dan 13 kota pedalaman) di China dari tahun 2000 s/d tahun 2005. Penelitian ini dibagi menjadi tiga model analis yaitu pada model nasional, model pesisir dan model pedalaman,  Adapun rasio pengaruh koefisien (elastisitas) antara harga perumahan dan harga tanah, yang terbesar adalah 2.40 (4.19) dalam model nasional, diikuti oleh 1,52 (2,74) dalam model pesisir, dan yang terkecil adalah 0,93 (1,99) di model pedalaman. Dibandingkan dengan kota-kota pesisir, permintaan perumahan di kota-kota pedalaman lebih rendah, dan lahan atau potensi pasokan lebih besar, yang membuat interaksi koefisien-koefisien antara harga tanah dan harga perumahan terkecil. Permintaan perumahan dominan di pasar real estate kota-kota pesisir, sedangkan kapasitas pasokan perumahan miskin, dengan demikian, kenaikan harga perumahan meningkatkan permintaan lahan perkotaan, yang mengarah ke peningkatan yang lebih besar dalam harga tanah. Artinya, semakin kuat permintaan perumahan, semakin besar pengaruh harga perumahan di harga tanah


W. K. Jaeger dalam jurnal Land Use Policy dalam “ Land Use Policy Determinants of urban land market outcomes : Evidence from California,” Penelitian ini dilakukan untuk menggali potensi ekonomi tanah yang mengacu pada data spasial untuk harga pasar di perkotaan dengan sampel  46 kota di California, Amerika Serikat. Model pasar tanah perkotaan secara tradisional ada dua yaitu "model kota tertutup" atau "model kota terbuka”. Hambatan kebijakan seperti ruang terbuka yang disebabkan oleh bentuk lahan seperti badan air (sungai dan danau) dan pegunungan, dapat diharapkan untuk mengubah ketersedian lahan tercermin dalam harga pasar tanah di kota-kota. Ukuran rasio konsentrasi lahan dikembangkan dalam radius kota atau perimeter dengan pendekatan Sistem Informasi Geografi. Pendekatan estimasi ini memberikan efek positif dan negatif, bukti menunjukkan bahwa bentuk lahan dan peraturan tata guna tanah  memiliki efek positif pada harga tanah. Kondisi keseimbangan pasar tanah perkotaan mengharuskan :
  1. Ada keseimbangan harga tanah  pada batas kota antara penggunaan perkotaan dan lahan pertanian,
  2. Utilitas marjinal disamakan di semua properti di kota dan,
  3. Tuntutan keseimbangan antara harga tanah  dan ketersediaan tanah di perkotaan.

Bukti pertama, model perubahan penggunaan tanah dan nilai tanah sebagai fungsi penduduk, pendapatan, dispersi spasial pengembangan kota dan gradien harga tanah dan bukti kedua untuk pembatasan perluasan wilayah perkotaan mempengaruhi harga tanah

T. Yokoi dan A. Ando dalam jurnal Economic Modelling “One-directional adjacency matrices in spatial autoregressive model : A landprice example and Monte Carlo results” menulis harga tanah ditentukan terutama oleh atribut lokasi, spekulasi dan kompetisi harga pasar, penulis menduga bahwa harga tanah ditentukan oleh dua faktor, Faktor pertama meliputi atribut sosial ekonomi, misalnya, rasio luas lantai. Faktor kedua memperhitungkan psikologis atau atribut spekulatif, yaitu harga tanah di daerah sekitarnya hanya untuk seputar pusat kota. Peneliti berasumsi kepadatan penduduk  berpengaruh relatif terhadap harga tanah di lokasi yang lain. Penelitian ini menggunakan metode spatial autoregressive dan simulasi monte carlo, lokasi penelitian di fukui, Jepang dengan data harga tanah tahun 2006, variabel penelitian harga tanah, luas persil, jarak dengan stasiun kereta api terdekat, variabel dummy falitas gas drainase dan rumah kayu, luas lantai dan jarak kepusat kota. Kesimpulannya adalah dengan efek satu arah,  bukan saling terkait yang mempengaruhi harga pasar, pada model autoregressive spasial, data harga tanah di kota Fukui tidak saling bergantung jika diasumsikan timbal balik.

R. M. Pokhrel, et al dalam jurnal Engineering Geology, A kriging method of interpolation used to mapliquefaction potential over alluvial ground,  Likuifaksi adalah fenomena geoteknik menghancurkan berhubungan dengan gempa bumi yang menyebabkan kelongsoran pondasi, tanggul tanah dan bendungan, terutama di kota-kota yang dibangun di atas endapan aluvial muda. likuifaksi atau Pergerakan tanah adalah salah satu fenomena geoteknik yang paling dahsyat yang berkaitan dengan gempa bumi, Informasi tentang daerah dengan kemungkinan besar pencairan tanah dapat digunakan untuk sangat efektif dalam perencanaan bahaya gempa bumi secara regional dan dapat mengurangi kerusakan akibat bencana, oleh karena itu kemampuan untuk memprediksi potensi likuifaksi sangat penting dan berharga untuk penilaian bahaya gempa bumi. Pendekatan konvensional melalui penggunaan data lubang bor, potensi likuifaksi dalam cekungan sedimen bervariasi berdasarkan jarak pendek dengan sifat-sifat tanah setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi potensi likuifaksi di lokasi yang tidak ada sampelnya, dimana data lubang bor tidak tersedia berdasarkan potensi pergerakan tanah diukur pada lokasi lubang bor yang dipilih.  teknik analisis yang digunakan adalah geostatistik dalam hal ini metode kriging digunakan untuk memperkirakan potensi likuifaksi di lokasi tidak ada sampel datanya. dataset terdiri dari nilai potensial likuifaksi diukur pada 86 lubang bor secara acak di Kota Saitama, Jepang, metode kriging  diintegrasikan dengan aplikasi sistem informasi geografi digunakan untuk menginterpolasi potensi pergerakan atau pencairan tanah. Pendekatan pada penelitian ini menggunakan model algoritma ordinary kriging (isotropik dan anisotropik), validasi dengan potensi pencairan diukur dari set kedua independen dikumpulkan dari 41 lubang bor. Adapun kesimpulan dalam penelitian adalah :
  1. potensial likuifaksi pada lokasi yang tidak disampel telah diinterpolasi dengan menggunakan sejumlah titik data sampel. metode kriging sangat  cocok dan tidak bias.
  2. potensi likuifaksi di setiap titik di daerah itu diperkirakan oleh interpolasi berdasarkan nilai-nilai potensi likuifaksi dihitung dari set pertama data lubang bor. Nilai potensial likuifaksi juga dievaluasi pada set kedua lubang bor dan dibandingkan dengan nilai-nilai diperkirakan dari set pertama data. Hasil tersebut menunjukkan kebetulan yang baik.
  3. kesinambungan potensial likuifaksi pada peta distribusi pemodelan anisotropik menunjukkan nilai R2 sedikit lebih tinggi daripada peta berdasarkan pemodelan isotropik,
  4. Pada bagian selatan dan bagian barat sepanjang Sungai Arakawa dan bagian timur sepanjang Sungai Ayase dan Sungai Motoarakawa memiliki potensi likuifaksi sangat tinggi. pusat kota di sepanjang dataran Omiya memiliki potensi likuifaksi rendah.
  5. Lokasi kejadian likuifaksi yang terjadi akibat gempa masa lalu berada di zona potensi likuifaksi tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa peta bahaya likuifaksi dapat ditentukan secara akurat 
Di Piazza, et al dalam International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation Comparative analysis of differenttechniques for spatial interpolation of rainfall data to create a seriallycomplete monthly time series of precipitation for Sicily, Italy, menulis ketersediaan data curah hujan yang baik dan handal merupakan dasar dalam  analisis hidrologi dan desain pengelolaan sistem sumber daya air,  namun dalam prakteknya, catatan curah hujan sering data hilang terutama karena kesalahan acak dan kesenjangan akibat data yang hilang selama jangka waktu tertentu. Hal ini akan memepengaruhi hasil studi hidrologi. Ada banyak metode untuk mengisi kesenjangan data rentet waktu untuk memperkirakan kehilangan data curah hujan dalam penelitian ini didasarkan pada algoritma interpolasi spasial, yaitu IDW(Inverse Distance Weighting) , regresi linier sederhana, regresi berganda, GWR (Geographically Weighted Regression) dipadukan dengan Jaringan Syaraf Tiruan, dan model Geostatistik seperti ordinary kriging dan residual ordinary kriging. Penelitian ini telah dilakukan di Pulau  Sisilia, Italia dengan area seluas 25.700 km, data diambil dari tahun 1921 sampai dengan tahun 2004. Hasil penelitian menunjukkan di antara metode banyak variabel, kinerja terbaik diperoleh dengan metode kriging biasa. tidak seperti metode IDW yang memperhitungkan sebagian besar pola keruangan yang dapat diamati, hasil akurasi ini dapat diterima dan tidak bias, sesuai dengan penelitian Goovaerts (1999) bahwa hasil terbaik untuk perkiraan curah hujan dapat dicapai dengan menggunakan metode interpolasi geostatistik dan teknik tidak deterministik, karena mereka mengabaikan pola ketergantungan spasial biasa yang diamati untuk data curah hujan

Kamis, 18 Juli 2013

Perbandingan Antara Peta ZNT Dengan Metode Kriging Untuk Estimasi Nilai Tanah

Latar Belakang 

Indonesia sebagai negara berkembang, sangat memerlukan pembangunan infrastruktur yang cepat agar tidak tertinggal dari negara lain, khususnya dalam pembangunan prasarana bangunan dan jalan, namun kenyataannya pembangunan infrastruktur di Indonesia sangat lambat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti China, Malaysia, India dan negara-negara lainnya. Data Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan anggaran pembangunan infrastruktur di Indonesia pada tahun ini hanya mencapai 5 persen dari Pendapatan Domestik Brutto(PDB), masih cukup jauh dibanding negara India pembangunan infrastruktur sebesar 7 persen dari PDB-nya, di China hampir 10 persen,  permasalahan yang klasik dalam pembangunan infrastruktur adalah masalah pembebasan tanah sehingga masalah ini kerap menjadi alasan lambatnya pembangunan infrastruktur khususnya jalan di Indonesia.